Beranda | Artikel
Pembagian Waktu Penuntut Ilmu
Kamis, 27 Februari 2025

Pembagian Waktu Penuntut Ilmu adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah pada Sabtu, 15 Februari 2025 M / 16 Sya’ban 1446 H

Kajian Islam Tentang Pembagian Waktu Penuntut Ilmu

Pada pertemuan sebelumnya, kita telah membahas beberapa hal penting:

  1. Menyiapkan hati sebagai tempat ilmu. Ini menjadi langkah awal yang sangat penting bagi seorang penuntut ilmu.
  2. Wajibnya keikhlasan dalam belajar.
  3. Sikap qana’ah (puas dan ridha) dalam menuntut ilmu. Jika seorang ṭālibul ‘ilm ridha dengan pembagian Allah, maka ini adalah tanda kesuksesannya dalam menuntut ilmu.
  4. Mendahulukan waktu untuk belajar sebelum terhalang oleh kesibukan lain, terutama di usia muda.

Bahkan, dalam kitab ini, penulis menyebutkan bahwa jika memungkinkan, seorang penuntut ilmu sebaiknya tidak menikah terlebih dahulu. Alasannya, realitanya menunjukkan bahwa setelah menikah, seseorang akan menghadapi lebih banyak rintangan dalam belajar. Meskipun kondisi setiap orang berbeda, secara umum, mereka yang belum menikah memiliki kebebasan waktu lebih banyak dibandingkan dengan yang sudah menikah.

Kemarin, kita juga telah menyebutkan perkataan sebagian ulama, seperti Sufyān ats-Tsaurī raḥimahullāh:

“Barang siapa yang menikah, maka ia seperti menaiki perahu di tengah lautan—ia mulai terombang-ambing dan menghadapi konsekuensi yang tidak mudah. Dan barang siapa yang dikaruniai anak, maka perahunya telah pecah.”

Artinya, setelah menikah, menuntut ilmu tidak lagi semudah ketika masih sendiri. Ia akan menghadapi berbagai tanggung jawab yang bisa menghambat kebebasannya dalam belajar dan menghafal.

Dahulu, Ibnu Syihāb az-Zuhrī raḥimahullāh—seorang alim ahli hadis, guru dari Imam Mālik, yang wafat pada tahun 124 Hijriah—begitu gemar membaca buku hingga istrinya cemburu kepada buku-buku yang ia baca.

Namun, zaman sekarang tidak seperti itu. Tidak perlu lagi ada kecemburuan seperti dahulu, karena baik yang menikah maupun yang tidak, sama-sama sibuk dengan gadget.

Dalam kehidupan keluarga zaman sekarang, ada yang mengatakan bahwa “HP mendekatkan yang jauh, tetapi menjauhkan yang dekat.” Akibatnya, banyak keluarga yang secara fisik bersama, tetapi masing-masing sibuk dengan HP-nya. Sehingga, muncul istilah “keluarga Sakinah, Mawaddah, Warahmah” (SAMAWA), yang akhirnya diplesetkan menjadi “Sama-sama buka WhatsApp”.

Ini tentu bukan hal yang baik dan tidak terpuji, terutama ketika momen kebersamaan dalam keluarga malah terganggu oleh kesibukan masing-masing dengan ponselnya. Ini adalah kebiasaan yang harus diperbaiki.

Para ulama menyebutkan bahwa bergadang pada dasarnya hukumnya makruh. Hal ini disebutkan oleh Syaikh ‘Abdul ‘Azīz as-Saḍḥān dalam kitab Ma’ālim fī Ṭalab al-‘Ilm. Beliau mengatakan bahwa hukum asal bergadang adalah makruh.

Disebutkan dalam hadis bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menyukai tidur sebelum shalat Isya dan tidak menyukai berbincang-bincang setelahnya.

نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ، وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا

“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membenci tidur sebelum salat Isya dan berbincang-bincang setelahnya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Terkadang, beliau tetap keluar rumah setelah Isya jika ada kebutuhan mendesak, seperti memeriksa keadaan kaum Muslimin bersama Abu Bakar dan Umar raḍiyallāhu ‘anhumā. Namun, hukum asalnya adalah beliau lebih menyukai tidur lebih awal dan bangun lebih awal.

Pentingnya Memanfaatkan Waktu

Pembahasan berikutnya adalah tentang Membagi Waktu. Seorang ṭālibul ‘ilm (penuntut ilmu) perlu membagi waktu dengan baik, baik waktu malam maupun siang, serta memanfaatkan sisa umurnya dengan bijak.

وَأَنْ يَقْسِمَ أَوْقَاتَ لَيْلِهِ وَنَهَارِهِ وَأَنْ يَعْلَمَ مَا بَقِيَ مِنْ عُمْرِهِ فَإِنَّ بَقِيَّةَ الْعُمْرِ لَا قِيمَةَ لَهُ

“Hendaknya seorang penuntut ilmu membagi waktu malam dan siangnya serta menyadari bahwa sisa umurnya sangat berharga dan tidak ternilai.”

Penulis kitab ini juga akan menjelaskan lebih lanjut tentang kapan waktu terbaik untuk menghafal, membaca, dan menulis.

Dalam belajar, menghafal adalah yang paling berat dibandingkan membaca dan menulis. Oleh karena itu, menghafal perlu dilakukan di waktu yang paling ideal, yaitu saat tubuh dalam keadaan fit dan segar.

Seorang ṭālibul ‘ilm perlu membagi waktunya secara proporsional sesuai dengan aktivitas belajar yang tepat. Jika seseorang tidak dapat mengatur waktu dengan baik, maka ia akan kehilangan banyak kesempatan untuk menuntut ilmu dengan optimal. Sebab, banyak waktu dalam kehidupan ini yang sering kali berlalu tanpa manfaat.

Apa maksud dari perkataan ini? Syaikh Ṣāliḥ Al-Ushaimi ḥafiẓahullāh menukil perkataan yang hampir sama dari seorang ‘ālim dalam mazhab Ḥanbali, yaitu Abu al-Wafā’ Ibn ‘Aqīl raḥimahullāh. Beliau berkata:

“Setiap hari yang matahari terbit, sementara aku tidak mendapatkan tambahan ilmu atau manfaat, maka hari itu bukan bagian dari umurku.”

Begitu pula al-Ḥasan al-Baṣri raḥimahullāh pernah berkata:

“Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau hanyalah kumpulan hari. Setiap kali satu hari berlalu, maka bagian dari dirimu telah hilang.”

Dulu, kita juga pernah menyampaikan perkataan Ibnu Aḥmad al-Fārāhiḍī raḥimahullāh, yang mengatakan, “Waktu itu seperti pedang. Jika engkau tidak menggunakannya dengan baik, maka ia akan menebasmu.”

Begitu pula perkataan yang berbunyi, “Waktu yang engkau tunggu belum tentu akan datang kepadamu, sedangkan waktu yang sekarang sedang engkau jalani pasti akan berlalu. Maka lihatlah bagaimana engkau memanfaatkan waktumu sebelum ia hilang darimu.”

Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54944-pembagian-waktu-penuntut-ilmu/